1. Memberi maaf membuat kepribadian kita
berkembang.
Memang ada orang yang
lebih memilih menyimpan rasa sakit hati dan dendam. Karena itu membuat mereka
dalam posisi “benar” dan orang lain yang salah. Perasaan itu justru membuat
mereka “nyaman” dan tidak perlu berubah.
Memberi maaf dalam
kasus-kasus “berat” seringkali sama sakitnya dengan sakit hati itu sendiri.
Karena mengharuskan kita melakukan introspeksi, yang tak jarang berakhir pada
kesimpulan bahwa kita juga memiliki andil dalam kesalahan yang dilakukan orang
itu terhadap kita. Pada satu titik, kita menyadari bahwa pasangan yang
selingkuh justru diakibatkan karena sikap kita dirumah selama ini yang kurang
memberi kasih sayang, penghargaan atau bersikap egois. Bahwa kita bisa ditipu
orang justru karena keserakahan kita sendiri.
Pengakuan seperti ini
sering menyakitkan. Alih-alih menyalahkan orang lain, kita malah dihadapkan
pada sebuah kesadaran mengenai kesalahan kita sendiri. Sebuah kesadaran yang
mengharuskan kita berubah. Tapi ketahuilah, rasa sakit yang satu ini akan
berbuah kenikmatan dan kedamaian di hati pada akhirnya. Ia akan membuat kita
lebh bijaksana dan menjadi orang yang lebih baik.
2. Memberi maaf membuat kita berdamai dengan
masa lalu
Memberi maaf
membebaskan kita dari belenggu jiwa yang mengikat dan mengerdilkan diri kita.
Setiap langkah yang kita lalui dalam hidup ini memuat pelajaran kehidupan yang
bersifat Ilahi. Ada pelajaran yang hendak disampaikan Tuhan melalui langkah dan
tahapan yang kita lalui dalam hidup ini.
Dengan memberi maaf
(dari dasar hati, bukan sekedar ucapan pemanis bibir), berarti kita telah
berdamai dengan masa lalu kita, termasuk diantaranya adalah orang-orang yang
telah menyakiti hati kita.
Bila kita masih
menyimpan sakit hati dan kekecewaan, berarti kita belum lulus ujian pelajaran
kehidupan yang diberikan Tuhan. Kalau belum lulus ujian, maka kelak kita akan
diharuskan mengulang kembali pelajaran tersebut.
3. Memberi maaf adalah hadiah terbesar yang
kita berikan kepada diri kita.
Tidak masalah apakah
orang yang kita maafkan itu pantas atau tidak untuk dimaafkan. Apalagi bila
orang itu tidak pernah meminta maaf. (Memang ada orang yang tidak pernah
meminta maaf untuk kesalahan yang ia lakukan. Lebih parah lagi, ia bahkan tidak
merasa salah!)
Dalam situasi seperti
itu, sadarilah bahwa itu bukan urusan kita. Orang seperti itu punya masalah
dengan diri mereka sendiri, dan mereka pasti menerima akibat dari sikap seperti
itu. Bukannya mensyukuri, tapi orang seperti itu justru perlu dikasihi.
Pada hakikatnya, tindakan
memberi maaf adalah tindakan menyangkut diri kita sendiri, bukan orang lain.
Bukan pula tergantung bagaimana sikap orang yang sudah menyakiti hati kita.
Karena memberi maaf membuat pikiran kita lebih jernih, lebih terbuka dan lebih
luas. Ia membuat jiwa kita lebih kaya. Ingat, orang yang “memberi” adalah orang
yang lebih “kaya.” Ia membuat kita lebih sabar dan lebih percaya diri.
4. Memberi maaf membuat kita lebih jujur
kepada diri sendiri.
Mungkin saja kita
sama sekali tidak pernah berbuat salah kepada orang yang bersalah kepada kita.
(“Apa salah saya kepada kamu sehingga kamu berbuat seperti ini pada saya?”)
Namun bila kita sedikit lebih jujur dan terbuka kepada diri sendiri, maka
segera kita sadari bahwa kitapun pernah berbuat salah kepada orang lain. Kita
juga manusia yang jauh dari sempurna. Mungkin saja orang yang menyakiti hati
kita hanyalah perantara utusan Tuhan untuk menyadarkan kesalahan yang pernah
kita lakukan kepada orang lain. Karena itu, bukannya malah benci dan mendendam,
kita justru patut berterima kasih kepada “si utusan Tuhan” ini.
5. Secara sosial, tindakan memberi maaf
diterima sebagai sikap seorang ksatria dan berjiwa besar.
Apakah memaafkan
perlu diucapkan secara verbal? Saya kira tidak ada sebuah pedoman baku untuk
itu, karena sangat tergantung pada situasinya. Apalagi bila yang bersangkutan
tidak pernah meminta maaf, tentu akan aneh bila tiba-tiba kita mengatakan bahwa
kita memaafkan kesalahannya.
Namun yang terpenting
adalah, apakah kita sudah memaafkannya dari dasar hati? Apakah kita sudah
memetik pelajaran yang hendak disampaikan Tuhan melalui dia? Kalau sudah, maka
sikap kita yang memaafkan akan tercermin dalam bahasa tubuh dan tutur kata
kita. Dan dengan itu, sebuah jalinan tali persaudaraan umat manusia yang sempat
terputus bisa tersambung kembali.
Saya selalu yakin,
Tuhan memberikan moment-moment tertentu dalam hidup manusia sebagai saat yang
tepat untuk menjalin kembali tali persaudaraan yang sempat putus. Moment-moment
itu adalah Tahun Baru, Lebaran, Natal, Hari Nyepi, Hari Waisak, atau hari ulang
tahun. Bisa juga moment berupa kelahiran seorang bayi, pesta pernikahan, atau
upacara wafat anggota keluarga. Itulah moment menurut saya kita perlu saling
memaafkan. Niscaya hidup kita akan lebih damai dan menjadi orang yang lebih
mencintai dan dicintai.
Mari
berbagi kebahagian dengan sesama melalui Wakaf
Rumah_Wakaf ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar