Rumah Wakaf Indonesia merupakan lembaga Wakaf Tunai yang berdiri sejak Juni 2009 di kota Bandung. Rumah Wakaf Indonesia terletak di jalan Turangga No. 63 Bandung Jawa Barat Telpon 022-77890805 menerima titipan Wakaf berupa Wakaf Quran, Wakaf Produktif, Wakaf Tunai, Wakaf Masjid, Wakaf Jembatan, Wakaf Sekolah, Wakaf Quran Braille, Wakaf Tanah.
Jumat, 19 April 2013
Kamis, 18 April 2013
Kisah Nyata Keajaiban Sedekah, Diganti 1000 Kali Lipat
Kisah nyata
ini terjadi di Jawa Tengah. Hari itu, seorang lelaki tengah mengengkol
vespanya. Tapi tak kunjung bunyi. “Jangan-jangan bensinnya habis,” pikirnya. Ia
pun kemudian memiringkan vespanya. Alhamdulillah... vespa itu bisa distarter.
“Bensin hampir habis. Langsung ke pengajian atau beli bensin dulu ya? Kalau beli bensin kudu muter ke belakang, padahal pengajiannya di depan sana,” demikian kira-kira kata hati lelaki itu. Ke mana arah vespanya? Ia arahkan ke pengajian. “Habis ngaji baru beli bensin.”
“Ma naqashat maalu ‘abdin min shadaqah, bal yazdad, bal yazdad, bal yazdad. Tidak akan berkurang harta karena sedekah, bahkan ia akan bertambah, bahkan ia bertambah, bahkan ia bertambah,” kata Sang Kyai di pengajian itu, yang ternyata membahas sedekah.
Setelah menerangkan tentang keutamaan sedekah, Sang Kyai mengajak hadirin untuk bersedekah. Lelaki yang membawa vespa itu ingin bersedekah juga, tetapi uangnya tinggal seribu rupiah. Uan g segitu, di zaman itu, hanya cukup untuk membeli bensin setengah liter.
Syetan mulai membisikkan ketakutan kepada lelaki itu, “Itu uang buat beli bensin. Kalo kamu pakai sedekah, kamu tidak bisa beli bensin. Motormu mogok, kamu mendorong. Malu. Capek.”
Sempat ragu sesaat, namun lelaki itu kemudian menyempurnakan niatnya. “Uang ini sudah terlanjur tercabut, masa dimasukkan lagi? Kalaupun harus mendorong motor, tidak masalah!”
Pengajian selesai. Lelaki itu pun pulang. Di tengah jalan, sekitar 200 meter dari tempat pengajian vespanya berhenti. Bensin benar-benar habis.
“Nah, benar kan. Kalo kamu tadi tidak sedekah, kamu bisa beli bensin dan tidak perlu mendorong motor,” syetan kembali menggoda, kali ini supaya pelaku sedekah menyesali perbuatannya.
Tapi subhanallah, orang ini hebat. “Mungkin emang sudah waktunya ndorong.” Meski demikian, matanya berkaca-kaca, “Enggak enak jadi orang susah, baru sedekah seribu saja sudah dorong motor.”
Baru sepuluh langkah ia mendorong motor, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti setelah mendahuluinya. Kijang itu kemudian mundur.
“Kenapa, Mas, motornya didorong?” tanya pengemudi Kijang, yang ternyata teman lamanya.
“Bensinnya habis,” jawab lelaki itu.
“Yo wis, minggir saja. Vespanya diparkir. Ayo ikut aku, kita beli bensin.”
Sesampainya di pom bensin, temannya membeli air minum botol. Setelah airnya diminum, botolnya diisi bensin. Satu liter. Subhanallah, sedekah lelaki itu kini dikembalikan Allah dua kali lipat.
“Kamu beruntung ya” kata sang teman kepada lelaki itu, begitu keduanya kembali naik Kijang.
“Untung apaan?”
“Kita menikah di tahun yang sama, tapi sampeyan sudah punya 3 anak, saya belum”
“Saya pikir situ yang untung. Situ punya Kijang, saya Cuma punya vespa”
“Hmm.. mau, anak ditukar Kijang?”
Mereka kan ngobrol banyak, tentang kesusahan masing-masing. Rupanya, sang teman lama itu simpati dengan kondisi si pemilik vespa.
Begitu sampai... “Mas, saya enggak turun ya,” kata pemiliki Kijang. Lalu ia menerogoh kantongnya mengeluarkan sebuah amplop.
“Mas, titip ya, bilang ke istrimu, doakan kami supaya punya anak seperti sampeyan. Jangan dilihat di sini isinya, saya juga belum tahu isinya berapa,” bonus dari perusahaan itu memang belum dibukanya.
Sesampainya di rumah. Betapa terkejutnya lelaki pemilik Vespa itu. Amplop pemberian temannya itu isinya satu juta rupiah. Seribu kali lipat dari sedekah yang baru saja dikeluarkannya.
Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
“Bensin hampir habis. Langsung ke pengajian atau beli bensin dulu ya? Kalau beli bensin kudu muter ke belakang, padahal pengajiannya di depan sana,” demikian kira-kira kata hati lelaki itu. Ke mana arah vespanya? Ia arahkan ke pengajian. “Habis ngaji baru beli bensin.”
“Ma naqashat maalu ‘abdin min shadaqah, bal yazdad, bal yazdad, bal yazdad. Tidak akan berkurang harta karena sedekah, bahkan ia akan bertambah, bahkan ia bertambah, bahkan ia bertambah,” kata Sang Kyai di pengajian itu, yang ternyata membahas sedekah.
Setelah menerangkan tentang keutamaan sedekah, Sang Kyai mengajak hadirin untuk bersedekah. Lelaki yang membawa vespa itu ingin bersedekah juga, tetapi uangnya tinggal seribu rupiah. Uan g segitu, di zaman itu, hanya cukup untuk membeli bensin setengah liter.
Syetan mulai membisikkan ketakutan kepada lelaki itu, “Itu uang buat beli bensin. Kalo kamu pakai sedekah, kamu tidak bisa beli bensin. Motormu mogok, kamu mendorong. Malu. Capek.”
Sempat ragu sesaat, namun lelaki itu kemudian menyempurnakan niatnya. “Uang ini sudah terlanjur tercabut, masa dimasukkan lagi? Kalaupun harus mendorong motor, tidak masalah!”
Pengajian selesai. Lelaki itu pun pulang. Di tengah jalan, sekitar 200 meter dari tempat pengajian vespanya berhenti. Bensin benar-benar habis.
“Nah, benar kan. Kalo kamu tadi tidak sedekah, kamu bisa beli bensin dan tidak perlu mendorong motor,” syetan kembali menggoda, kali ini supaya pelaku sedekah menyesali perbuatannya.
Tapi subhanallah, orang ini hebat. “Mungkin emang sudah waktunya ndorong.” Meski demikian, matanya berkaca-kaca, “Enggak enak jadi orang susah, baru sedekah seribu saja sudah dorong motor.”
Baru sepuluh langkah ia mendorong motor, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti setelah mendahuluinya. Kijang itu kemudian mundur.
“Kenapa, Mas, motornya didorong?” tanya pengemudi Kijang, yang ternyata teman lamanya.
“Bensinnya habis,” jawab lelaki itu.
“Yo wis, minggir saja. Vespanya diparkir. Ayo ikut aku, kita beli bensin.”
Sesampainya di pom bensin, temannya membeli air minum botol. Setelah airnya diminum, botolnya diisi bensin. Satu liter. Subhanallah, sedekah lelaki itu kini dikembalikan Allah dua kali lipat.
“Kamu beruntung ya” kata sang teman kepada lelaki itu, begitu keduanya kembali naik Kijang.
“Untung apaan?”
“Kita menikah di tahun yang sama, tapi sampeyan sudah punya 3 anak, saya belum”
“Saya pikir situ yang untung. Situ punya Kijang, saya Cuma punya vespa”
“Hmm.. mau, anak ditukar Kijang?”
Mereka kan ngobrol banyak, tentang kesusahan masing-masing. Rupanya, sang teman lama itu simpati dengan kondisi si pemilik vespa.
Begitu sampai... “Mas, saya enggak turun ya,” kata pemiliki Kijang. Lalu ia menerogoh kantongnya mengeluarkan sebuah amplop.
“Mas, titip ya, bilang ke istrimu, doakan kami supaya punya anak seperti sampeyan. Jangan dilihat di sini isinya, saya juga belum tahu isinya berapa,” bonus dari perusahaan itu memang belum dibukanya.
Sesampainya di rumah. Betapa terkejutnya lelaki pemilik Vespa itu. Amplop pemberian temannya itu isinya satu juta rupiah. Seribu kali lipat dari sedekah yang baru saja dikeluarkannya.
Sungguh benar firman Allah, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Kamis, 11 April 2013
KAYA HATI, ITULAH KAYA SENYATANYA
Orang kaya
pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih
merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang
Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya
masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.
Coba kita
perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah
hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no.
6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam riwayat
Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟
قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ
يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر
الْقَلْب
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau
memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,”
jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya
harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah
kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya
hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR.
Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Muslim)
Inilah nasehat
dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan
bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk
meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika
diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua,
ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang
selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah.
Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah
mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah
dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa
harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi.
Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah
harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang
semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus
menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa
hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu
merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang
diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu
tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih
untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al
Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah
orang yang selalu qona’ah
(merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk
menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah
letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah
hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah
yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang
yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi.
Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha
kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal
maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat
sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak
pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak
kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang
yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan
Allah Ta’ala. Ia
tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus
ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Perkataan yang
amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ
حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“Kaya
hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan
terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah
fakir (miskinnya hati).
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu
merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji
bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus
menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia
tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.
Namun bukan
berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ
الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak
apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang
bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini bukan
berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah
merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh
beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan
Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah
dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ
النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ
الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal
huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya
Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan
ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi
–rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna
menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al
ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di
sisi manusia.”[3]
Saudaraku ...
milikilah sifat qona’ah,
kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah
menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini. Amien !!
Selasa, 09 April 2013
KONSEP JIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Bilal Atkinson - Inggris.
Penterjemah: A.Q. Khalid
Penterjemah: A.Q. Khalid
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:69)
Kata bahasa Arab yaitu Jihad yang dikemukakan dalam ayat Al-Quran ini
diterjemahkan sebagai ‘berjuang.’ Kata Jihad itu memang secara relatif
pendek sekali tetapi implikasinya luar biasa dalam masyarakat Islam
secara keseluruhan dan dalam kehidupan pribadi seorang Muslim. Jihad
sebagaimana diperintahkan dalam Islam bukanlah tentang membunuh atau
dibunuh tetapi tentang bagaimana berjuang keras memperoleh keridhaan
Ilahi. Baik individual mau pun secara kolektif, Jihad merupakan suatu
hal yang esensial bagi kemajuan ruhani.
Kata Jihad itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa kita selalu dalam
keadaan siap untuk berkelahi atau melakukan perang. Hal itu sama sekali
jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata Islam sendiri berarti
kedamaian dan semua usaha dan upaya kita sewajarnya diarahkan kepada
penciptaan kedamaian serta harmoni di antara sesama kita, dalam
komunitas dan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kamus, kata Jihad diartikan sebagai berjuang tetapi juga sebagai ‘perang suci.’ Dalam kamus bahasa Inggris (Oxford Reference Dictionary)
malah Jihad diartikan sebagai ‘perang untuk melindungi Islam dari
ancaman eksternal atau untuk siar agama di antara kaum kafir.’ Kata suci
dan perang sebenarnya tidak sinonim satu sama lain, bahkan saling
bertentangan karena tidak ada yang suci pada dampak dan kengerian
peperangan. Sangat menyedihkan bahwa kata ‘Jihad’ ini di masa kini sudah
demikian disalah-artikan oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya dalam
media mereka. Sepintas, kesalah-pahaman demikian bisa dimengerti karena
dalam milenium terakhir ini ada beberapa kelompok Muslim ekstrim dimana
pimpinan mereka menterjemahkan ‘Jihad’ sebagai Perang Suci. Mereka
mengenakan kata Jihad itu pada segala perang yang mereka lakukan, apakah
untuk tujuan politis, ekonomi atau pun motivasi ekspansi. Akibat dari
kesalahan istilah demikian, agama Islam secara keliru telah dituduh
mendapatkan pengikutnya melalui cara pemaksaan dan laku kekerasan.
Kata Jihad itu sendiri dalam Al-Quran digunakan dalam dua pengertian: – Jihad fi Sabilillah – berjuang keras di jalan Allah, – Jihad fi Allah –
berjuang keras demi Allah. Arti kata yang pertama menyangkut perang
mempertahankan diri dari musuh kebenaran ketika mereka berusaha
memusnahkan agama ini, sedangkan pengertian kata yang kedua adalah
berusaha atau berjuang keras guna memenangkan keridhoan dan kedekatan
kepada Allah s.w.t.. Kata yang kedua itu lebih mengandung signifikasi
keruhanian yang lebih tinggi dibanding kata yang pertama.
Jihad ada tiga jenis:
- Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
- Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
- Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela diri.
Rasulullah s.a.w. mengistilahkan kedua Jihad yang pertama sebagai Jihad Akbar sedangkan yang ketiga sebagai Jihad Ashgar (Jihad yang lebih kecil). Suatu ketika saat kembali dari suatu peperangan, beliau menyatakan:
‘Kalian telah kembali dari Jihad yang kecil (berperang melawan musuh
Islam) untuk melakukan Jihad yang lebih besar (berperang melawan nafsu
rendah). (Khatib)
Jihad Ashgar
Kami akan menjelaskan terlebih dahulu Jihad yang kecil yaitu Jihad
Ashgar sebelum mengulas Jihad Akbar. Usia Muhammad Rasulullah s.a.w.
adalah empat puluh tahun saat datang panggilan Ilahi. Wahyu dan perintah
pertama yang diterima beliau sebagai bagian dari Al-Quran adalah:
‘Bacalah dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dia Tuhan engkau adalah Maha Mulia; yang mengajar dengan pena; mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.’ (S.96 Al-Alaq:1-5)
Perintah pertama Allah s.w.t. ini jelas sekali menyuruh beliau untuk
menyebarkan ajaran Islam, baik secara lisan mau pun tulisan dan bukan
dengan kekerasan, bukan dengan pedang atau pun tindakan agresif apa pun.
Kata yang pertama saja sudah menyatakan untuk menyampaikan pesan,
memaklumatkan ke seluruh dunia akan wahyu dan ajaran Allah s.w.t.
melalui keluhuran Al-Quran.
Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk menyatakan
secara terbuka dan merata segala apa yang diwahyukan kepada beliau.
Upaya beliau menyampaikan pesan Ilahi ini kepada masyarakat sekeliling
beliau di Mekah ternyata hanya membuahkan cemooh dan memancing
kekerasan. Pada awalnya hanya ada empat orang yang beriman kepadanya dan
ketika hal ini didengar penduduk Mekah, mereka lantas saja menertawakan
dan mencemooh. Dengan bertambah banyaknya ayat Al-Quran yang
diwahyukan, tambah banyak pula orang-orang yang tertarik dan mengikuti
pesan baru itu, terutama para pemuda, yang lemah dan yang tertindas
dalam masyarakat Mekah. Apalagi wanita, dimana mereka tertarik kepada
agama baru ini karena agama tersebut memberikan harga diri dan
kehormatan kepada mereka di tengah bapak, suami dan putra-putra mereka,
suatu hal yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya mengingat mereka
terkadang diperlakukan lebih buruk dari hewan.
Keberhasilan Rasulullah s.a.w. ini berimbas buruk terhadap diri beliau
dan para pengikut awal. Penduduk Mekah melancarkan laku aniaya yang
tambah lama tambah kejam dan buas dengan berjalannya waktu. Mereka
menjadi ketakutan bahwa agama baru itu akan mengakar kuat dan agama
serta budaya mereka sendiri menjadi hancur karenanya. Karena rasa takut
itulah maka penduduk Mekah yang kafir itu lalu menghunus pedang dan
berpesta menjagal para hamba Allah yang setia dan benar. Jalan-jalan di
kota Mekah menjadi merah oleh darah umat Muslim, namun mereka ini tetap
saja tidak membalas. Kerendahan hati dan sikap istiqomah mereka malah
mendorong para penganiaya tersebut untuk bertindak lebih kejam lagi
dimana mereka memperlakukan umat Muslim dengan cara aniaya dan pelecutan
yang ekstrim. Banyak orang tua yang harus menyaksikan anaknya dibantai
di depan mata mereka sendiri dan beberapa orang tua disalib di depan
mata anak-anaknya.
Apa yang menjadikan orang-orang itu beriman kepada Rasulullah s.a.w.,
seorang laki-laki yang pada waktu itu tidak memiliki kekuasaan atau pun
kekayaan, beliau jelas tidak ada menghunus pedang guna memaksa
pengikutnya untuk beriman kepadanya dan pesan yang dibawanya.
Satu-satunya ‘pedang’ yang digunakan Rasulullah s.a.w. hanyalah
Al-Quran, sebuah pedang ruhani, pedang kebenaran, yang secara alamiah
telah menarik hati mereka yang tidak percaya, tanpa suatu agresi dalam
bentuk apa pun. Demikian itulah keindahan, keagungan dan daya tarik
Islam serta diri Muhammad yang menyiratkan kebaikan dan kasih sehingga
mereka ini bersedia menyerahkan nyawa untuk itu. Adalah orang-orang
non-Muslim, terutama penduduk Mekah, yang telah mengangkat pedang fisik
mereka untuk menyerang umat Muslim guna memaksa mereka kembali kepada
ajaran dan agama lama mereka.
Setelah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah, kekejaman bangsa kafir
Quraish malah tambah melampaui batas. Mereka lantas membunuhi para
pengikut lemah yang masih tertinggal di Mekah, termasuk wanita dan
anak-anak yatim. Meski Rasulullah s.a.w. beserta banyak dari para
sahabat telah hijrah ke Medinah, tetap saja mereka tidak dibiarkan hidup
damai. Tetap saja mereka ini diganggu terus di tempat yang baru itu.
Pada saat itu agama Islam yang baru muncul itu ditingkar musuh di segala
penjuru dan terancam kepunahan. Berkenaan dengan keadaan seperti itulah
maka perintah pertama tentang Jihad kecil lalu diwahyukan kepada
Rasulullah s.a.w.:
‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.’ (S.22 Al-Hajj:39)
Para ulama sependapat bahwa ini adalah ayat pertama yang memberi izin
kepada umat Muslim untuk mengangkat senjata guna melindungi diri mereka.
Ayat ini meletakkan dasar-dasar yang menjadi pedoman bagi umat Muslim
dalam melakukan perang defensif. Jelas dikemukakan disitu alasan yang
telah mendorong segelintir umat Muslim tidak bersenjata dan sarana
lainnya untuk berperang mempertahankan diri setelah menderita dengan
sabar sekian lamanya. Mereka menderita aniaya terus menerus selama
bertahun-tahun di Mekah dan masih terus diburu kebencian meski telah
hijrah ke Medinah. Alasan utama umat Muslim mengangkat senjata adalah
karena mereka telah diperlakukan dengan aniaya. Mereka telah menderita
tak terbilang lagi aniaya musuh dan perang telah dipaksakan terhadap
mereka.
Ayat Al-Quran berikutnya menegaskan inferensi tersebut dimana dinyatakan
bahwa izin untuk berperang diberikan karena umat Muslim telah diusir
dari rumah mereka:
‘Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa.’ (S.22 Al-Hajj:40)
Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk Jihad ini adalah
berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu,
dimana ayat-ayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim
hanya boleh mengangkat senjata untuk membela diri terhadap mereka yang
telah terlebih dahulu menyerang dan hanya jika umat Muslim memang
tertindas dan teraniaya. Hal inilah yang menjadi sukma dan esensi
daripada Jihad Islamiah yang sekarang ini banyak disalah-artikan. Jelas
tidak benar sama sekali jika dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. hanya
memberikan pilihan kepada umat untuk bai’at atau mati, Islam atau
pedang.
Jihad dengan pedang yang terpaksa dilakukan Rasulullah s.a.w. serta umat
Muslim awal karena tekanan keadaan yang khusus, adalah suatu phasa yang
bersifat selintas dalam penegakan fondasi Islam. Mereka yang berusaha
menghancurkan Islam dengan pedang, akhirnya punah karena pedang juga.
Kecuali ada suatu bangsa atau negara yang memaklumkan perang terhadap
umat Muslim dengan tujuan memupus Islam dari muka bumi, tidak ada perang
atau pertempuran yang dilakukan umat Muslim yang bisa disebut sebagai
Jihad. Tujuan dari umat Muslim dalam mengangkat senjata tidak pernah
untuk mengkaliskan siapa pun dari rumah atau harta benda atau pun
kemerdekaan mereka. Jihad perang hanya dibenarkan untuk membela diri
guna menyelamatkan Islam dari suatu kehancuran, menegakkan kemerdekaan
berpendapat disamping juga untuk membantu mempertahankan tempat-tempat
ibadah umat agama lain dari kerusakan atau penghinaan. Singkat kata,
tujuan utama dari perang yang dilakukan umat Muslim adalah guna
menegakkan kebebasan beragama dan beribadah, membela kehormatan diri dan
kemerdekaan terhadap serangan tidak beralasan, dan itu pun kalau ada
alasan bahwa hal tersebut akan terjadi lagi.
Umat Muslim di masa awal tidak memiliki pilihan lain kecuali berperang
karena mereka terpaksa harus melakukannya. Perang yang bersifat agresif
sejak dulu mau pun kini tetap dilarang oleh Islam. Kekuatan politis
negeri-negeri Muslim tidak boleh digunakan untuk ambisi atau pengagulan
pribadi, tetapi hanya untuk perbaikan kondisi rakyat yang miskin serta
demi pengembangan perdamaian dan kemajuan. Contoh akbar mengenai hal ini
ada pada saat Rasulullah s.a.w. beserta para pengikut beliau kembali ke
Mekah dengan kemenangan. Beliau berbicara kepada penduduk Mekah,
menyampaikan:
‘Kalian telah melihat betapa sempurnanya janji Allah. Sekarang beritahukan kepadaku hukuman apa yang pantas dikenakan kepada kalian atas segala kekejaman dan kebengisan kalian terhadap mereka yang kesalahannya hanyalah karena mereka telah mengajak kalian untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa? Mendengar itu penduduk Mekah menjawab: “Kami ingin engkau memperlakukan kami seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya yang bersalah.” Mendengar permohonan tersebut, Rasulullah s.a.w. langsung menjawab “Demi Allah, kalian tidak akan dihukum sekarang ini dan tidak juga dimurkai.” (Hisham)
Al-Quran menyatakan:
‘Dan, perangilah mereka itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya bagi Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.’ (S.8 Al-Anfal:39)
Ayat di atas menjelaskan kalau perang hanya boleh dilanjutkan sepanjang
masih ada laku aniaya dan manusia belum bebas menganut agama yang mereka
sukai. Jika musuh-musuh Islam menghentikan perang maka umat Muslim juga
harus berhenti pula.
Bangsa yang paling pantas mendapat hukuman sesungguhnya penduduk Mekah
itulah. Kalau Islam memang disiarkan melalui tekanan senjata, maka
kejadian kemenangan umat Rasulullah s.a.w. atas Mekah merupakan saat
paling tepat guna mengayunkan pedang untuk pembalasan dan penaklukan
agar orang-orang masuk ke dalam Islam. Tetapi nyatanya tidak demikian,
penduduk Mekah tunduk bukan karena pedang tetapi karena kasih sayang.
Kasih kepada diri Rasulullah s.a.w. dan kecintaan pada ajaran Al-Quran
yang mencerahkan kalbu.
Al-Quran menyatakan:
‘Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan. . .’ (S.2 Al-Baqarah:256)
Ayat di atas mengingatkan umat Muslim secara jelas dan gamblang untuk
tidak menggunakan kekerasan dalam menarik non-Muslim ke dalam agama
Islam. Dijelaskan juga alasannya mengapa kekerasan itu tidak perlu
digunakan yaitu karena jalan yang benar telah nyata bedanya dari jalan
kesesatan sehingga tidak ada pembenaran untuk menggunakan kekerasan.
Rasulullah s.a.w. secara tegas diingatkan Allah s.w.t. agar tidak
menggunakan kekerasan dalam upaya memperbaiki masyarakat. Status beliau
ditegaskan dalam ayat Al-Quran:
‘Maka nasihatilah, sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi nasihat. Engkau bukan penjaga atas mereka.’ (S.88 Al-Ghasyiyah:21-22)
Ajaibnya ayat di atas itu diwahyukan di Mekah di masa awal himbauan
Rasulullah s.a.w. dimana beliau telah diisyaratkan akan memperoleh
kekuasaan besar tetapi jangan menggunakannya untuk memaksakan kehendak
diri beliau atas orang lain. Pada intinya Rasulullah s.a.w. tidak pernah
menarik orang ke dalam agama Islam dengan kekuatan pedang tetapi
melalui laku takwa, kasih dan pengabdian beliau kepada Allah s.w.t. yang
telah menaklukkan hati para musuh sedemikian rupa sehingga mereka yang
tadinya berniat membunuhnya malah kemudian tunduk di kaki beliau dan
mempertahankan beliau dari serangan para musuh.
Pada saat haji perpisahan, Rasulullah s.a.w. dalam penutupan Khutbah Perpisahan beliau menyatakan:
‘Seperti halnya bulan ini suci, tanah ini tanah suci dan hari ini hari suci, demikian pula halnya Tuhan telah menjadikan jiwa, harta benda dan kehormatan tiap-tiap orang juga suci. Merampas jiwa seseorang atau harta bendanya atau menyerang kehormatannya adalah tidak adil dan salah, sama halnya seperti menodai kesucian hari ini, bulan ini dan daerah ini. Apa yang kuperintahkan pada hari ini dan di daerah ini berarti bukan hanya untuk hari ini. Perintah-perintah ini adalah untuk sepanjang masa. Kalian diharapkan mengingat dan bertindak sesuai dengannya sampai kalian meninggalkan alam dunia ini dan berangkat ke alam nanti untuk menghadap Khalik-mu.’
Sebagai penutup beliau bersabda:
‘Apa-apa yang telah kukatakan kepada kalian, sampaikanlah ke pelosok-pelosok dunia. Mudah-mudahan mereka yang tidak mendengarku sekarang akan mendapatkan faedah lebih daripada mereka yang telah mendengarnya.’ (Sihah Sitta, Tabari, Hisyam dan Khamis)
Kepedulian Rasulullah s.a.w. yang sangat atas kesejahteraan umat manusia
dan penciptaan kedamaian di seluruh dunia sungguh tidak ada batasnya.
Adalah suatu tragedi bahwa dalam masa sekitar seribu tahun terakhir ini
para pemuka dan negeri Muslim, sebagian besar telah mengabaikan hakikat
ajaran Al-Quran dan Rasulullah s.a.w. semata-mata hanya untuk pemuasan
keserakahan dan nafsu kekuasaan atau mencari kekayaan. Mereka berperang
satu sama lain untuk memperebutkan kekayaan duniawi dan melalui laku
lajak mereka telah menganiaya orang-orang yang tidak berdosa. Secara
culas mereka telah mengkhianati bangsanya sendiri dan sesama negeri
Muslim hanya untuk mendapatkan kekayaan moneter dan kekuasaan dari
musuh-musuh Islam. Sebagian besar dari pemuka ruhani dan duniawi telah
menyesatkan bangsanya sendiri dan membawa kebusukan dalam tubuh, fikiran
dan jiwa masyarakat. Pada masa kini, beberapa anak muda Muslim secara
konyol telah ‘dicuci otaknya’ sehingga menganggap laku barbar, teror,
bunuh diri dan pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadikan mereka
mendapat derajat syuhada. Sesungguhnya mereka ini telah membawa
kebusukan ke ambang pintu agama yang katanya mereka cintai. Nama Islam
sekarang tidak lagi bernuansa kedamaian melainkan disinonimkan dengan
laku teror.
Sebagian besar negara-negara di dunia pernah melancarkan perang politis
tetapi kelihatannya hanya negeri-negeri Muslim yang melaksanakan perang
Jihad dimana mereka telah membantai satu sama lainnya. Berkaitan dengan
itu perlu kiranya disinggung juga kejadian di New York (peristiwa 11
September) dan apa yang terjadi di Afghanistan dan Timur Tengah dimana
‘Jihad Islam’ telah dilancarkan membabi-buta oleh organisasi-organisasi
Muslim ekstrim terhadap bangsa-bangsa non-Muslim.
Rasulullah s.a.w. ada mengingatkan bahwa umat Muslim di akhir zaman,
terutama para pemuka mereka, akan jauh sekali dari hakikat Islam dan
bahkan sebagian dari mereka akan menjadi seburuk-buruknya mahluk. Para
pemuka ini akan menyesatkan para muda-mudi Muslim yang sebenarnya
memiliki intelegensi cukup. Para pemuka ini mendidik dan
mengindoktrinasi mereka bahwa jika mereka menyerahkan nyawa dalam apa
yang mereka katakan sebagai jalan Islam, maka mereka ini akan langsung
masuk surga sebagai suhada. Betapa bohongnya mereka itu dan betapa
menipunya. Mestinya umat Islam bertanya kepada para pemuka itu “Atas
kewenangan siapa kalian ini membuat pernyataan seperti itu?” Wahai
muda-mudi Muslim yang diperintahkan melakukan tindakan mengerikan
demikian, kalau seperti kata mereka itu bahwa kalian akan jadi suhada
dan masuk surga, katakanlah kepada mereka silakan tunjukkan teladannya
dengan melakukannya sendiri. Tanyakan kepada mereka itu ‘Mengapakah kamu
mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?’ (S.61 Ash-Shaf: 2)
Laku demikian sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu amal saleh,
bahkan lebih merupakan pencemaran nama Islam serta pendurhakaan terhadap
firman Tuhan. Al-Quran jelas menyatakan:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta bendamu antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali yang kamu dapatkan dengan perniagaan berdasar kerelaan di antara sesamamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.’ (S.4 An-Nisa: 29)
Kata-kata ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ melarang keras tindakan bunuh
diri. Disamping itu apakah mungkin laku pembunuhan orang-orang tidak
berdosa dianggap sebagai amal saleh yang akan memberikan izin seorang
Muslim masuk pintu surga? Yang pasti adalah membuka jalan ke pintu
neraka! Abu Zaid bin Thabit bin Dhahak meriwayatkan bahwa Rasulullah
s.a.w. bersabda:
‘Barangsiapa yang bersumpah palsu dan tidak mengatakan keadaan yang
sebenarnya, sesungguhnya ia bukan dari pengikut Islam sebagaimana ia
menganggap dirinya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebuah alat
maka ia akan disiksa dengan alat itu pada Hari Penghisaban. Seseorang
tidak boleh bersumpah tentang sesuatu yang bukan haknya. Mengutuk
seorang mukminin sama saja dengan membunuhnya.’ (Bukhari, Kitab Adab,
bab Memanggil dengan nama buruk dan mengutuk)
Dengan demikian para pria dan wanita yang menyebut dirinya Muslim yang
berencana membunuh dirinya atau mengajak orang lain untuk bunuh diri
dengan menggunakan bom sehingga menyebabkan matinya orang-orang yang
tidak berdosa, perhatikanlah ayat Al-Quran dan Hadith dari Penghulu
kalian. Bukan derajat suhada yang akan kalian peroleh tetapi neraka
jahanam.
Terorisme di abad modern ini sama sekali bertentangan dengan visi dan
penafsiran tentang hakikat Jihad Islamiah. Perang politis tidak bisa
disebut sebagai Jihad. Teriakan Jihad terdengar berulang-ulang dan dari
berbagai penjuru. Namun apa sebenarnya makna Jihad yang dimaksud Allah
s.w.t. dan Rasul-Nya? Apa yang menjadi Jihad di masa kini yang patut
kita ikuti? Al-Quran mengemukakan Jihad lain yang disebut sebagai Jihad
Akbar sebagai:
‘Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al-Quran ini dengan jihad yang besar.’ (S.25 Al-Furqan:52)
Jihad akbar dan hakiki menurut ayat ini adalah melaksanakan dan
mengajarkan isi Al-Quran.Sekarang ini bukan lagi masanya menghunus
pedang tetapi saatnya menggunakan hujjah. Apa yang dimaksud dengan hal
ini dan bagaimana caranya kita harus masuk dalam medan laga agar manusia
menyadari keindahan Islam dan ajarannya? Salah satu jawabannya adalah
dengan memahami makna dari Jihad Fiallah atau Jihad Akbar yaitu Jihad
terhadap nafsu dan kecenderungan buruk dalam diri kita, khususnya
perjuangan kita melawan Syaitan. Inilah yang dimaksud dengan Jihad
hakiki, Jihad individual guna memperbaiki diri menjadi saleh dan hamba
Allah serta merobah Syaitan-syaitan dalam diri kita menjadi Muslim yang
muttaqi agar kita bisa menarik orang lain ke dalam agama Islam. Al-Quran
menyatakan:
‘Barangsiapa berjuang maka ia berjuang untuk dirinya pribadi,
sesungguhnya Allah Maha Kaya, bebas dari sekalian mahluk-Nya.’ (S.29
Al-Ankabut:6)
Ayat ini menggambarkan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan seorang
Mujahid, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Wawasan agung dan
luhur yang dilaksanakan secara konsisten dan konstan dalam praktek
aktual itulah yang dimaksud sebagai Jihad dalam terminologi Islam,
sedangkan orang yang melaksanakan dan mengamalkannya disebut sebagai
Muhajid. Kita ini harus menjadi teladan yang sempurna dari ajaran Islam
dan untuk itu kita harus memahami ajaran Al-Quran serta sunah Rasul.
Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa sebaik-baik pernyataan dari keimanan
yang hakiki adalah orang lain selalu terpelihara dan hidup damai karena
perlindungan kita. Islam disebut agama yang terbaik ialah jika semua
orang aman dari kita dan kita tidak pernah mencederai mereka baik dengan
tangan atau pun lidah (Bukhari, Kitabul Iman).
Hadith itu merupakan kesimpulan dan teladan sempurna untuk kehidupan
kita di dalam masyarakat. Wajib bagi setiap Muslim bahwa perilakunya
harus menjadi teladan dan tidak ada siapa pun yang akan dirugikan dengan
cara apa pun. Hal ini menjadi bagian dari keimanan dan senyatanya
menjadi dasar dalam hubungan kita dengan Allah s.w.t.. Sebagai seorang
mukminin sejati, kita tahu bahwa tujuan utama dalam kehidupan ini adalah
mendekati Allah s.w.t.. Hidup ini singkat sekali dan sebelum kita
sadari, separuh usia sudah lewat dengan cepatnya. Kita mengetahui dari
Al-Quran bahwa hubungan seperti itu bisa diciptakan, namun juga
dinyatakan bahwa kita harus berjuang mencarinya. Jika kita perhatikan
kehidupan duniawi, kita bisa melihat upaya perjuangan seperti apa yang
harus dilakukan guna mencapai keberhasilan. Cara yang sama dengan
berjuang di jalan Allah akan menuntun kita pada pertemuan dengan
Wujud-Nya.
Semestinya kita menilik ke dalam batin sendiri dan melihat berapa
banyaknya waktu dan upaya yang dikeluarkan bagi keruhanian setiap
harinya. Apakah ada kita berupaya setengah atau bahkan seperempat dari
tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk dunia? Apakah hati kita
sesungguhnya mendambakan kasih Allah sebagaimana halnya mendambakan
kemewahan dunia? Apakah ada kita menghabiskan waktu yang banyak untuk
berdoa, membaca Al-Quran, membelanjakan harta dan waktu di jalan Allah?
Apakah hati kita ada menangis melihat penderitaan saudara-saudara kita
dan apakah ada kita berupaya datang kepada mereka dengan tulus hati
menyampaikan pesan Ilahi? Adakah kita mematuhi sepenuhnya ketentuan dan
peraturan dalam Kitabullah, karena sesungguhnya tidak ada petunjuk yang
lebih baik daripadanya. Semua ketentuan dan peraturan tersebut adalah
bagi kemaslahatan kita sendiri. Siapa yang mengetahui jalan Allah yang
terbaik kecuali Allah sendiri? Kita semestinya mematuhi kaidah Ilahi
guna memastikan bahwa kita terpelihara dari pengaruh jahat internal mau
pun eksternal diri kita serta mencerahkan perjalanan ruhani. Semua itu
memerlukan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup yang selama ini
dianut. Fikiran dan pandangan perlu diubah dan dimodifikasi. Upaya
demikian adalah berat dan melelahkan tetapi semua perjuangan memang
berat dan menyakitkan adanya.
Orang-orang yang hidup berdasarkan pedoman Tuhan dan selalu berjuang di
jalan-Nya maka mereka menjadi teladan hidup dari hamba-hamba Allah.
Mereka kelihatan menonjol dibanding lingkungannya. Ada perubahan
sempurna dalam internal dan eksternal pribadi mereka sehingga
orang-orang lain akan terpana dan menghormati mereka karena adanya nur
Ilahi yang bersinar dari wajah mereka. Mereka itu senyatanya menjadi
bukti hidup dari ayat Al-Quran bahwa:
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami,
sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’
(S.29 Al-Ankabut:70)
Kata Jihad itu mencakup keseluruhan aktivitas positif yang harus
dilakukan seorang Muslim dan kita semua harus berlaku sebagai Mujahid
yang secara istiqomah memperbaiki diri. Berjuang demi Allah membutuhkan
tekad bulat dan keteguhan hati, dimana hal ini tidak mungkin bisa
dicapai tanpa keimanan, pemahaman dan keyakinan yang hakiki kepada Wujud
Maha Agung yang Maha Kuasa serta kepastian adanya kehidupan setelah
kematian. Jika seorang Muslim meyakini bahwa keimanannya itu benar
adanya, agama yang dianutnya itu juga benar maka ia tidak perlu takut
kepada orang-orang yang berusaha menariknya keluar dari keimanan
demikian. Sebaliknya, ia harus menerima mereka di rumahnya dengan senang
hati dan melalui amal dan kata yang saleh, insya Allah, bisa menarik
mereka ke dalam agamanya.
Sebelum masuk menjadi Muslim Ahmadiyah sekitar 14 tahun yang lalu, saya
selalu berusaha selama hampir dua tahun untuk menarik seorang teman
Ahmadi ke dalam agama Kristen. Teman ini sama sekali tidak mengambil
sikap permusuhan, malah ia banyak mengajarkan kepada saya kebenaran
agamanya dalam kata dan amal perbuatan, sehingga akhirnya tidak saja
saya malah jatuh cinta kepada agama Islam, bahkan aku mencintai teman
ini sebagaimana seseorang mencintai saudara kandungnya sendiri. Ia
selalu menempatkan agama dan kewajiban agama di muka segalanya, bahkan
kepentingan keluarganya sendiri. Melalui kata-kata dan amalnya yang
saleh serta mengikuti teladan Rasulullah s.a.w. ia ini tidak saja
berhasil menyeru saya tetapi juga banyak orang Inggris lainnya ke dalam
Islam yang hakiki. Ia melaksanakan Jihad hakiki, tidak dengan kekerasan
tetapi dengan ajakan yang lembut. Ia banyak mengalami rintangan namun
kesabaran dan sifat istiqomahnya, terlebih lagi kecintaannya kepada sang
Khalik, telah menjadikan dirinya sebagai penyeru kepada Allah yang
paling berhasil.
Pedih hati ini menyaksikan laku ketidakadilan yang ditimpakan
bangsa-bangsa Barat terhadap umat dan negeri-negeri Muslim. Tetapi lebih
menyedihkan lagi menyaksikan tindakan orang-orang yang menyebut dirinya
Muslim yang mencanangkan Jihad terhadap siapa pun yang tidak sependapat
dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam dimana mereka melakukan
tindak kekejaman yang memalukan atas nama Islam. Bagaimana bisa mereka
menarik minat orang lain kepada agama Islam?
Betapa menyedihkan dan memalukan bahwa seorang yang asing sama sekali
dan tidak pernah merugikan kita dan sedang menjalankan perintah
kedinasannya, lalu ditembak mati tanpa alasan sehingga isterinya menjadi
janda, anak-anaknya menjadi yatim serta tempat tinggalnya menjadi rumah
berkabung. Hadith mana dan ayat Al-Quran mana yang memerintahkan tindak
laku yang keji seperti itu? Apakah ada seorang saja ulama yang bisa
memberikan jawaban atas pertanyaan ini? Umat awam yang tidak
berpengetahuan, begitu mendengar kata Jihad lalu menjadikannya sebagai
pembenaran untuk memenuhi nafsu pribadi mereka sendiri.
* Bilal Atkinson adalah seorang Inggris pensiunan polisi dan sekarang
menjadi Amir Muballigh Wilayah Ahmadiyah dari bagian Timur Laut
Inggris.
Rabu, 03 April 2013
CHATTING dengan ALLAH
BUZZ
BUZZ...
ALLAH : Kamu memanggil-Ku ?
AKU: Memanggil-Mu? Tidak.. Ini siapa ya?
ALLAH : Ini ALLAH. Aku mendengar doamu. Jadi Aku ingin berbincang-bincang denganmu.
AKU: Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik. Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.
ALLAH : Sedang sibuk apa? Semut juga sibuk.
AKU: Nggak tau ya. Yang pasti saya tidak punya waktu luang sedikitpun. Hidup jadi seperti diburu-buru. Setiap waktu telah menjadi waktu sibuk.
ALLAH : Benar sekali. Aktifitas memberimu kesibukan. Tapi produktifitas memberimu hasil. Aktifitas memakan waktu, produktifitas membebaskan waktu.
AKU: Saya mengerti itu. Tapi saya tetap tidak dapat menghidarinya. Sebenarnya, saya tidak mengharapkan ALLAH mengajakku chatting seperti ini.
ALLAH : Aku ingin memecahkan masalahmu dengan waktu, dengan memberimu beberapa petunjuk. Di era internet ini, Aku ingin menggunakan medium yang lebih nyaman untukmu daripada mimpi, misalnya.
AKU: OKE, sekarang beritahu saya, mengapa hidup jadi begitu rumit?
ALLAH : Berhentilah menganalisa hidup. Jalani saja. Analisa-lah yang membuatnya jadi rumit.
AKU: Kalau begitu mengapa kami manusia tidak pernah merasa senang?
ALLAH : Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin. Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu tidak pernah merasa senang.
AKU: Tapi bagaimana mungkin kita tidak khawatir jika ada begitu banyak ketidakpastian.
ALLAH : Ketidakpastian itu tidak bisa dihindari. Tapi kekhawatiran adalah sebuah pilihan.
AKU: Tapi, begitu banyak rasa sakit karena ketidakpastian.
ALLAH : Rasa Sakit tidak bisa dihindari, tetapi Penderitaan adalah sebuah pilihan.
AKU: Jika Penderitaan itu pilihan, mengapa orang baik selalu menderita?
ALLAH : Intan tidak dapat diasah tanpa gesekan. Emas tidak dapat dimurnikan tanpa api. Orang baik melewati rintangan, tanpa menderita. Dengan pengalaman itu, hidup mereka menjadi lebih baik bukan sebaliknya.
AKU: Maksudnya pengalaman pahit itu berguna?
ALLAH : Ya. Dari segala sisi, pengalaman adalah guru yang keras. Guru pengalaman memberi ujian dulu, baru pemahamannya.
AKU: Tetapi, mengapa kami harus melalui semua ujian itu? Mengapa kami tidak dapat hidup bebas dari masalah?
ALLAH : Masalah adalah Rintangan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan mental. Kekuatan dari dalam diri bisa keluar dari perjuangan dan rintangan, bukan dari berleha-leha.
AKU: Sejujurnya ditengah segala persoalan ini, kami tidak tahu kemana harus melangkah…
ALLAH : Jika kamu melihat keluar, maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah. Lihatlah ke dalam. Melihat keluar, kamu bermimpi. Melihat ke dalam, kamu terjaga. Mata memberimu penglihatan. Hati memberimu arah.
AKU: Kadang-kadang ketidakberhasilan membuatku menderita. Apa yang dapat saya lakukan?
ALLAH : Keberhasilan adalah ukuran yang dibuat oleh orang lain. Kepuasan adalah ukuran yang dibuat olehmu sendiri. Mengetahui tujuan perjalanan akan terasa lebih memuaskan daripada mengetahui bahwa kau sedang berjalan. Bekerjalah dengan kompas, biarkan orang lain berkejaran dengan waktu.
AKU: Di dalam saat-saat sulit, bagaimana saya bisa tetap termotivasi?
ALLAH : Selalulah melihat sudah berapa jauh saya berjalan, daripada masih berapa jauh saya harus berjalan. Selalu hitung yang harus kau syukuri,jangan hitung apa yang tidak kau peroleh.
AKU: Apa yang menarik dari manusia?
ALLAH : Jika menderita, mereka bertanya “Mengapa harus aku?”. Jika mereka bahagia, tidak ada yang pernah bertanya “Mengapa harus aku?”.
AKU: Kadangkala saya bertanya, siapa saya, mengapa saya disini?
ALLAH : Jangan mencari siapa kamu, tapi tentukanlah ingin menjadi apa kamu. Berhentilah mencari mengapa saya di sini. Ciptakan tujuan itu. Hidup bukanlah proses pencarian, tapi sebuah proses penciptaan.
AKU: Bagaimana saya bisa mendapat yang terbaik dalam hidup ini?
ALLAH : Hadapilah masa lalu-mu tanpa penyesalan. Peganglah saat ini dengan keyakinan. Siapkan masa depan tanpa rasa takut.
AKU: Pertanyaan terakhir. Seringkali saya merasa doa-doaku tidak dijawab.
ALLAH : Tidak ada doa yang tidak dijawab. Seringkali jawabannya adalah TIDAK.
AKU: Terima Kasih Tuhan atas chatting yang indah ini.
ALLAH : Oke. Teguhlah dalam iman, dan buanglah rasa takut. Hidup adalah misteri untuk dipecahkan, bukan masalah untuk diselesaikan. Percayalah padaKu. Hidup itu indah jika kamu tahu cara untuk hidup.
BUZZ...
ALLAH : Kamu memanggil-Ku ?
AKU: Memanggil-Mu? Tidak.. Ini siapa ya?
ALLAH : Ini ALLAH. Aku mendengar doamu. Jadi Aku ingin berbincang-bincang denganmu.
AKU: Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik. Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk.
ALLAH : Sedang sibuk apa? Semut juga sibuk.
AKU: Nggak tau ya. Yang pasti saya tidak punya waktu luang sedikitpun. Hidup jadi seperti diburu-buru. Setiap waktu telah menjadi waktu sibuk.
ALLAH : Benar sekali. Aktifitas memberimu kesibukan. Tapi produktifitas memberimu hasil. Aktifitas memakan waktu, produktifitas membebaskan waktu.
AKU: Saya mengerti itu. Tapi saya tetap tidak dapat menghidarinya. Sebenarnya, saya tidak mengharapkan ALLAH mengajakku chatting seperti ini.
ALLAH : Aku ingin memecahkan masalahmu dengan waktu, dengan memberimu beberapa petunjuk. Di era internet ini, Aku ingin menggunakan medium yang lebih nyaman untukmu daripada mimpi, misalnya.
AKU: OKE, sekarang beritahu saya, mengapa hidup jadi begitu rumit?
ALLAH : Berhentilah menganalisa hidup. Jalani saja. Analisa-lah yang membuatnya jadi rumit.
AKU: Kalau begitu mengapa kami manusia tidak pernah merasa senang?
ALLAH : Hari ini adalah hari esok yang kamu khawatirkan kemarin. Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa. Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu. Karena itulah kamu tidak pernah merasa senang.
AKU: Tapi bagaimana mungkin kita tidak khawatir jika ada begitu banyak ketidakpastian.
ALLAH : Ketidakpastian itu tidak bisa dihindari. Tapi kekhawatiran adalah sebuah pilihan.
AKU: Tapi, begitu banyak rasa sakit karena ketidakpastian.
ALLAH : Rasa Sakit tidak bisa dihindari, tetapi Penderitaan adalah sebuah pilihan.
AKU: Jika Penderitaan itu pilihan, mengapa orang baik selalu menderita?
ALLAH : Intan tidak dapat diasah tanpa gesekan. Emas tidak dapat dimurnikan tanpa api. Orang baik melewati rintangan, tanpa menderita. Dengan pengalaman itu, hidup mereka menjadi lebih baik bukan sebaliknya.
AKU: Maksudnya pengalaman pahit itu berguna?
ALLAH : Ya. Dari segala sisi, pengalaman adalah guru yang keras. Guru pengalaman memberi ujian dulu, baru pemahamannya.
AKU: Tetapi, mengapa kami harus melalui semua ujian itu? Mengapa kami tidak dapat hidup bebas dari masalah?
ALLAH : Masalah adalah Rintangan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan mental. Kekuatan dari dalam diri bisa keluar dari perjuangan dan rintangan, bukan dari berleha-leha.
AKU: Sejujurnya ditengah segala persoalan ini, kami tidak tahu kemana harus melangkah…
ALLAH : Jika kamu melihat keluar, maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah. Lihatlah ke dalam. Melihat keluar, kamu bermimpi. Melihat ke dalam, kamu terjaga. Mata memberimu penglihatan. Hati memberimu arah.
AKU: Kadang-kadang ketidakberhasilan membuatku menderita. Apa yang dapat saya lakukan?
ALLAH : Keberhasilan adalah ukuran yang dibuat oleh orang lain. Kepuasan adalah ukuran yang dibuat olehmu sendiri. Mengetahui tujuan perjalanan akan terasa lebih memuaskan daripada mengetahui bahwa kau sedang berjalan. Bekerjalah dengan kompas, biarkan orang lain berkejaran dengan waktu.
AKU: Di dalam saat-saat sulit, bagaimana saya bisa tetap termotivasi?
ALLAH : Selalulah melihat sudah berapa jauh saya berjalan, daripada masih berapa jauh saya harus berjalan. Selalu hitung yang harus kau syukuri,jangan hitung apa yang tidak kau peroleh.
AKU: Apa yang menarik dari manusia?
ALLAH : Jika menderita, mereka bertanya “Mengapa harus aku?”. Jika mereka bahagia, tidak ada yang pernah bertanya “Mengapa harus aku?”.
AKU: Kadangkala saya bertanya, siapa saya, mengapa saya disini?
ALLAH : Jangan mencari siapa kamu, tapi tentukanlah ingin menjadi apa kamu. Berhentilah mencari mengapa saya di sini. Ciptakan tujuan itu. Hidup bukanlah proses pencarian, tapi sebuah proses penciptaan.
AKU: Bagaimana saya bisa mendapat yang terbaik dalam hidup ini?
ALLAH : Hadapilah masa lalu-mu tanpa penyesalan. Peganglah saat ini dengan keyakinan. Siapkan masa depan tanpa rasa takut.
AKU: Pertanyaan terakhir. Seringkali saya merasa doa-doaku tidak dijawab.
ALLAH : Tidak ada doa yang tidak dijawab. Seringkali jawabannya adalah TIDAK.
AKU: Terima Kasih Tuhan atas chatting yang indah ini.
ALLAH : Oke. Teguhlah dalam iman, dan buanglah rasa takut. Hidup adalah misteri untuk dipecahkan, bukan masalah untuk diselesaikan. Percayalah padaKu. Hidup itu indah jika kamu tahu cara untuk hidup.
Langganan:
Postingan (Atom)